ASSALAMU’ALAIKUM
WARAHMATULLAHI WABARAKATU
Siang begitu terik. Tapi
Murni seperti tak merasa kepanasan sedikitpun, meskipun wajahnya dibahasi
peluh. Ia malah memperlambat langkahnya sambil sesekali mengatur gemuruh di
hatinya, yang sejak ia membaca famplet di sekolahnya tadi pagi menghentak-hentak
tidak karuan.
“Ahh….ggue gak
bisa ngebayangin,” gumam hati Murni berfantasi.”Ini bakal gue jadiin
kenangan seumur hidup gue.”
Sejenak
Murni tenggelam dalam fantasinya tentang sosok yang bakal ia saksikan di masjid
sekolahnya besok pagi. Sosok yang seumur hidupnya cuma bisa ia saksikan lewat
sinetron, iklan, dan suara emasnya yang terbalut gaya ‘kutu loncat’-nya yang
memukau. Sosok yang sekaranng katanya telah menjadi ustadz. Sosok yang katanya
mo go out dari musik. Sosok yang…..
“Pisang
goreng anget ! pisang goreng anget ! siap mau beliiii…..!” sebbuah paduan
suara cempreng kontan membuat Murni terjingkat kaget dan refleks menengok ke
belakang. Dua orang gadis tanggung tampak pRingas pRingis dengan tampah di atas
kepalanya.
“uhh,
kalian ini! bikin kaget saja !” omel Murni.
Parmi
dan Jujuk, kedua gadis itu cengar cengir sambil berpandangan.
“habis
mbak Murni jalannya akuntansi normal,” sahut Parmi.
“Iya,
kayak pegawe tanah lagi ngukur tanah!” timpal cucuk. Lalu keduannya cekikikan.
Murni
meRingis.”kalian dari mana sich, hari gini kok baru pulang?”
“biasa,
mbak, shopiiiiing…..!”
“lagunya!
Sudddah sekarang kalian pulang. Jangan keluyuran lagi. Ntar dipalak si Jono
Jabrik baru nyaho!”
“Oke
booosss…! Kedua gadis itu serempak berjalan mendahului Murni dan langsung
hilang di kelokan sebuah gang. Murni masih memandang kedua gaadis penjual pisang
goreng anak buah Emaknya itu. Ia lalu bergegas tancap gas. Uh, kutu juga tuh the
friend bananas girls, gerutu
Murni. Mbak lagi saik dengan gacoan Mbak tahu gak, nduuuuuk!
Teriaknya dalam hati.
Murni
ulai memasuki gang sempit yang di kanan kirimya mengalir selokan berair hitam
dan bau. Rumahnya sudah tak jauh dari situ. Tapi mendadak ia menghentikan
langkahnya seraya menajamkan pendengarannya.
“hanya
satu kata…,” sebuah lagu
terdengar samar mengalun dari deretan rumah kontrakan di depan mrni. Bang Hari,
tunggu aye, baaang…..!pekik hati Murni. Next…..
Murni
kembali memasukkan koin ditanganya. Ia siap-siap merengut lagi. Kalo gak
berhasil juga, gue gusur nich telpon! Ancam hati Murni geram. Habis, suda hampir
lima belas menit ia ‘memmancing’ telepon didepan kantor kelurahan itu, tapi
belum sekalipun telepon memberikan sambungan. Koinnya nyeplos melulu. Mana
jaraknya jauh dari rumahnya, ngantRinya ‘setahun’, dan koinnya tingal satu
biji! Murni menatap lampu sinyal telepon. Hatinya blingsatan. Dan….ceklek….Aha,
ksmu bisa! Murni bersorak.
“halo,
638517 RiRin Ratnaningsih di sini assalamu’alaikum….!”suara
seorang gadi seberang.”
“kum
salam, Rin, gimana persiapan lu besok? Lu pake kulat atau jeans? Lu jadi bareng
nyokap? Tape-nya udah readi
apa belom?”berondong Murni denga gemasnya.
“hooi!ini
wartawan apa majalah bobo?! Suara Lu mirip debt
collector, nek!”
“sorri,
boss, sorriiii….!”
“sterss
Lu mur. Nyantai aja napa.”
“because
he is Hari Nukti, Rin bang Hari….!”
“Dee,
sentimeter Lu ah. Eh, ngomong-ngomong besok lu pake jilbab nggak, mur? Gue gak
punya nich. Tolongin donk…”
“nyantai,
bos. Lu mau yang kayak apa? Jilbab kaos? Linen? Super lebar? Ukuran sedang?”
“dapet
korting nggak, mpok?!” sela Riri. Murni terdengar gondok. RiRin ngakak.
“Emang
lu punya banyak, Mur? Kok gak pernah lu pake?” tanya RiRin lagi.
“bukan
punya gue, Rin. Itu jilbabnya Mbak Esti, kakak gue. Gue sich insidentil aja
Makenya.”
“Oo,
kalau gitu pilihin gue yang kaos warna pink dech. Ukurannya yang ssedang aja.
Sekalian diantar ya, Mur.”
“beres.
Pesenan minimal 50 potong plus ongkos kirim.”
“Semprul!
Eh, soal lipstik gimana? Jadi lu pake ?”
“Yoi,
donk. Enaknya warna apa ya, Rin?”
“berhubung
kulit lu rada-rada item cendrung gosong, gue saranin lu ake warna merah tu…..”
“sadis!!”
semprot Murni gondok lagi. RiRin ngakak lagi.
“Eh,
mur, kalo lu demen banget sama hari moekti, gimana tuch si Roni/ Dia nyalamin lu
lagi, lho.”
“Roni,
Roni yang mana, Rin?”
“Tuut,
nguuuuung…..!” telepon putus, koin habis.
“Iiiii….!”
Murni geregetan. Next……..
Emak
geleng-geleng kepala memperhatikan mmematut-matu diri di depan cermin sedemikian
rupa. Sudah setengah jam, batin wanita setengah baya itu. Dan ini aneh. Soalnya
Ahad pagi begini bungsunya itu biasabya masih melingkar
di tempat tidurnya. Kalau bukan karena kepretan air Mbak Esti, sampai besok
subuh mungkin dia masih molor.
“Murni, mau kemana sih
pagi-pagi begini, nduk? Kayaknya dines banget, sudah rapi jali begitu?” tanya
Emak. Pagi ini ia sudah rapi-rapi, karena pisang dan bakwannya sudah di ambil
Parmi dan jujuk untuk dijajakan.
“Biasa, Mak.
Sebagai muslimah kita kita kudu melakukan sesuatu yang dapat mnunjukkan ciri
kemuslimahan kita. Pokonya asyik deh, Mak,”jawab Murni sambil sbuk melakukan
pemerataan dia bagian kening dan sekitarnya.
“Biasa,
biasa gimana?’
“Biasa
kok gimana. Biasa ya biasa, Mak.”
“biasanya
kamukan masih ngorok hari gini ,”cegat Emak.”lha, kalau pagi ini sudah rapi
ya gak biasa donk, Nduk.”
‘Maka
itu harus dibiasain, Mak,”Murni gak mau kalah. Emak kembali menggeleng. Murni
hampir selesai.
“Mak,
maukah Emak keluar dulu?”tanya Murni sambil menahan risih.
“kamu
ini kenapa sih, nduk? Emak gak ngapain-ngapain di sini.”
“Murni
hendak melakukan sesuatu yang sangat pribadi.”
“Pribadi
apa? Lagakmu itu, Mur.”
“Ada, deh. Pokonya Emak keluar dulu. Gak perlu curigesyen sama Murni, bos. Tenang aja.”