jeans-nya. Tak sampai lima menit seluruh areal bibirnya telah tertutupi aspal, eh, lipstik warna orannye. Hmmm, Murni tersenyum. Fantasinya mulai ermain lagi. Batapa indahnya hari minggu ini. lebih-lebih nanti, ketika ia mengambil tempat duduk di barisan paling depan, terus melototin gacoannya dalam wujudnya yang palind asli. Betapa indahnya ketika panitia ketika memberikan wakti bagi peserta untuk bertanya dan ia lngsung mengacungkan tangannya seraya maju dan bertanay: Bang Hari, sekarang kok berubah?Auk, ah, gelap! Hihihi…batin Murni geli.

“kalo gue pikir-pikir, Islam memang hebat,”gumam Murni.”Sampe orang kayak hari moekti bisa berubah total. Wah, kalo arsis-artisyang lain kayak Hari semua, bisa untung gue. Nggak perlu keluar duit untuk nonton konsernya. Hihi….”

“Murni, sudah selesai elum, Nduk?” suara Emak mengagetkan Murni. Gadis itu segera melakukan rechek terakhir, lalu keluar dengan yakinnya.

“gimana, Mak, saik nggak?” tanya Murni tanpa risih-risihan lagi. Raut muka Emak langsung berubah.

“Masya Allah, Murni! Kamu ini apa-apaan sih? Kalo mau mbadut mbok ya bialng-bilang. Apa ini ayng kamu sebut…..apa tadi…..identitas muslimah, ya? Oala, Nduk, Nduk. Lihat itu Mbak estimu. Itu yang emak suka. Nggak neko-neko.”

“ssst…Emak ini ritis banget sih, kayak mantan pengamat model aja. Pokonya Emak asyik aja, ntar Murni ceritaiin acara Murni yang satu ini.”

“Acara pa pake bibir merah dan jilbab tumben gitu, nduk?”

“Hanya satu kata…,”Murni mengedipkan matanya seraya membalikkan tubunya. “udah deh, Mak. Murni harus segera take off, nih. Tolong bilang sam Mbak Esti ya, Mak. Jilbabnya dipinjem dulu. Dua biji, buat Murni sam aRirin.”Murni segera neraih tangan emak dan menciumnya. Setelah itu dia langsung cabut.

“Tuh, katanya muslimah tapi ngucap salam aja gak,”cegat emak.

Murni memutar tubuhya lagi.”Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,Emak cayaaaaaaaaang…….!”

Emak engusap dadanya, Murni, Murni. Next…………………….

Waktu menunjukkan pukul 8.30 ketika mikrolet yang ditumpangi Murni melewati Puri gading Permai.

“kiri, Bang!” teriak Murni. Setelah menyodorkan ongkos, gadis itu melompat turun.

“kurang dong, Neng. Masak dua ratus perak?”Biasanya kan segitu, bang. Lagian saya pelajar, Bang!”

sopir geleng-geleng kepala. Murni melenggang cuek memasuki komplek perumahan mewah itu. Di sebuah rumah bernomor 36A dia berhenti. Itu rumah Ririn, sohib kentalnya. Tapi kok sepi, pikir Murni. Rumah Ririn yang gede itu menyulitkan Murni untuk memencet bel. Soalnya, jarak antara pintu gerbang dengan pintu rumahnya sekitar sepuluh meter, dan bel itu nangkring di sana. “Mana pintu gerbangnya di kunci lagi. Semprul juga nih si Ririn, gerutu Murni. Janjinya ngaret melulu!

Assalamua’alaikuuuuum…!” teriak murn sambil memukul-mukul selot pintu.

Sepi. Sesaat Murni menunggu. Tapi dia masih belum juga melihat tanda-tanda kehidupan di rumah sahibnya itu.

Murni siap membuka mulutnya lagi. Atpi…….

“Kum salam! Cewek godain kita dong! Cewek godain kita dong!” sebuah suara kontan membuat wajah Murni serasa tebel gak ketulungan. Dia celingukan mencari-cari siempuya suara usil itu. Tapi keadaan rumah Ririn tetap seperti semula. Sepi. Murni melihat arlojinya. Duh, dia rasanya pengen nangis. Sudah jam 9 kurang lima menit. Padahal acara dimulai pukul 9.30. Murni menatap rumah Ririn dengan sebel. Dia jadi gak berani ngucapin salam lagi. Hih, mendingan gue tinggalin aja si Ririn, sungut Murni seraya membalikkan tubuhnya dan siap hengkang. Tapi…..

“Woi, si empok ngambek!” Murni menghentikan langkahnya seraya menoleh. Ririn tampak nyengir dengan seekor brurung beo di tangannya.

“Kum salam! Cewek godain kita dong! Cewek godain kita dong!” celoteh beo itu.

Murni meringis. Ririn ngakak.

“beo gue pangling, mur. Makanya dia langsung naksir sama elu.”

“sekarang udah jam berapa pawang beo? Lu ngaret melulu,” ujar Murni sambil mengeluarkan jilbab dari tasnya, lalu memberikannya kepada Ririn.

“nyantai, mur. Kita bawa BMW.”

“Lha, nyokap gimana?”

“Beliau ke Bandung, arisan keluarga. yuk cabut!”

Murni kayak dapat durian runtuh. Naik BMW? Sedap, maaaaan, pekik hatinya.

“Gue jadi gemes sendiri, Rin. Hari kok jadi berubah drastis kayak gitu ya?”celoteh Murni. Matanya tepejam menikmati AC mobil milik sohibya itu.

“Yaa, namanya juga dunia, mur. Penuh warna-warni, berubah terus. Kita juga siapa tau gak begini terus. Gue insyaf, lu sadar,’ suara Ririn lirih.

“Emang lu kira gue sekarang pingsan?”gerutu Murni.”tapi bisa jadi begitu, rin. Gue kadang-kadang kasihan melihat Mbak esti. Dia selalu nyuruh gue pake jilbab dan belajar Islam. Tapi guenya ogah banget.”

“Lu sebenanya enak, Mur. Gue, biarpun nyokap dan bokap gue kaya , tapi hidup gue gersang . kakak-kakak gue metal semua. Lu lihat, sampe jilbab aja gue ogah beli.”

Kedua sahabat itu tercenung. Murni diam-diam terkejut mendengar pengakuan dia tadi. Ririn gak bahagia?. Tiba-atiba terbesit dimatanya wajah Emak dan Wajah mbak esti. Emak yang tabah dalam himpitan ekonomi, tampak beegitu bahagia walau cuma menjual pisang goreng, meski ditinggal bapak yang berpulang karena bronkitis lima tahun yang lalu. Dan Mbak esti, ah…Murni hanya punya satu kata untuk menggambarkan sosoknya : SHALIHAH.

“Hoi, bengong! Sudah sampe mpok,” tepikan tangan Ririn membuyarkan lamuanan Murni. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya.  Halaman masjid sekolahnya tampak sudah dipenui deretan tukang buku. Barisan muslimah dengan jjilbab warna-warninya menyuguhkan pandangan ssegar.

“Lu tau nggak, mur,” tanya Ririn sambil membanting pintu mobil.

“Gue sebenarnya bosen ngelihat Hari Moekti. Soalnya gue udah sering banget ngelihat konsenya. Tapi ntah kenapa gue sekarang punya perasaan lain dengan keadaan dia sekarang.”

“perasaan lain apaan maksud lu?”

“huss,bader lu!”

Next-----