Ketika
menginjak usia 31 tahun, aku mulai prustasi karena jodoh tak kunjung datang.
Posisiku kian sulit, mencari usianya yang lebih mudah sulit apalagi yang lebih
tua lebih sulit lagi. Aku berusaha memperluas pergaulan dengan mengikuti kursus
menjahit, memasak dan tata rias, namun hingga usia 33 tahun tidak membuahkan
hasil. Bahkan aku merasakan, para laki-laki itu semakin jauh dariku. Aku seolah
ada ditempat yang tidak mengakui aku sebagai seorang wanita.
Lebih
parah lagi, ditengah pergaulanku, masyarakt kerap menyebutku perawan tua dan ada
juga laki-laki yang dengan sinis menyebutku jomblo. Apalagi setelah adik
perempuanku yang ketiga menikah. Aku semakin terjepit dan pergaulanku semakin
sempit. Kadang ada ras malu walau sekedar keluar rumah. Kadang iri pada adikku
yang sudah memiliki dua anak yang lucu-lucu. Aku pernah marah ketika melihat
adikku kelihatan bermesraan dengan suaminya.
Pernah
aku menangis tersedu-sedu sambil mendekap kursi pengantin sesaat sebelum adikku
melangsungkan pernikahan, seolah mengisyaratkan bahwa aku takkan pernah
bersanding di kursi ini. Saaat adikku melangsungkan akad nikah, aku tak kuasa
menahan air mata seolah mustahil aku alami.
Melengkapi
penderitaanku, adik bungsu yang laki-laki resmi menikah. Dia menikah saat aku
berusia 37 tahun. Saat merencanakan pernikahannya, ayah sudah tidak lagi
mempertimbangkan keberadaanku. Bahkan aku tidak diajak kompromi. Maksud ayah
mungkin agar aku tidak tersinggung. Aku justru tersinggung atas sikap ayah itu.
Andai saja di ajak kompromi , justru au yang mengusulkan agar secepatnya
pernikahan itu dilaksanakan, jangan terjadi yang seperti yang aku alami. Namun
semuanya sudah berlalu. Dari kejadian itu, semakain yakin aku tidak akan pernah
menikah dan tidak akan pernah merasakan nafa laki-laki
Menyadari
realitas ini, akhirnya aku berfikir ke arah yang lebih positif, aku coba
menekuni usaha katering, membuka salon, aknhirnya aku lebih cocok usaha katering.
Kini usaha itu telah berjalan cukup baik, aku memasak katering untuk buruh
pabrik yang jumlahnya ribuan di Bandung Selatan. Namun baru saja usaha itu
berjalan dua tahun, aku merasakan keluhan diperutku tepatnya diseputar rahim
bahkan nyaris tidak bias beraktivitas. Menurut diagnosa dokter, dirahimku ada
benjolan sejenis kanker. Namun dia tidak bias memastikan kebenarannya. Akhirnya
aku berobat kerumah sakit yang lenih besar di Jakarta, ternyata aku positif
menderita kanker rahim.
Maka
lengkaplah sudah pendeeritaanku. Apalagi setelah operasi pertama, dokter
menyatakan, sulit mengangkat keseluruhan kanker itu karena akarnya telah
memanjang dan mulai merusak jaringan tubuh yang lainnya. Memang benar,
akhir-akhir ini aku merasakan sakit yang amat sangat di sekujur tubuhku. Akupun
memutuskan untuk menyerahkan usahaku kepada adik perempuanku. Menurut dokter,
kanker rahim banyak di derita oleh anak yang tidak punya anak atau tidak mau
mengandung. Dokter sendiri memperkirakan usiaku tak lebih dari 2 tahun lagi
kecuali ada mukjizat atau keajaiban. Bahkan menurut dokter, saya mendekati
stadium terminal.
Kini
dalam usia yang ke-40 aku sadar, mungkin inilah jalan hidup yang terbaik yang
diberikan Allah SWT. Bagiku, kini kini aku lebih banyak mendekatkan diri kepada
Allah SWT dan lebih banyak bergaul dengan ibu-ibu pengajian walaupun dalam
kondisi sakit.
Dari
buku Al-Ghifari “ROMANTIKA REMAJA”, Mujahid Press
(Kisah-kisah
tragis dan solusinya dalam Islam)