YANG
TERASING DARI NAFAS LAKI-LAKI
Aku
tidak menyalahkan takdir, namun beban ini teramat berat untuk dipikul. Padahal
aku dilahirkan dalam keluarga yang baik dan cukup terpandang di mata masyarakat.
Aku lahir sekitar 40 tahun yang lalu di Bandung Selatan sebagai anak ketiga dari
tujuh bersaudara; dua kakak saya laki-laki dan semua adikku perempuan kecuali
sibungsu laki-laki. Saya dengan adik perempuan pertama selisih tiga tahun,
dengan yang kedua 5 tahun, yang ke-3 6 tahun dan dengan sibungsu selisih 10
tahun. Saya tidak akan menyebutkan dua kakak saya karena mereka tidak berkait
denagn masalah saya.
Berbeda
dengan sudara, saya pendiem dan cenderung kuper alias kurang pergaulan. Padahal
sekolahku disekolah umum yang pergaulannya cukup bebas. Namun pengalaman bathin
yang sangat keras di keluarga menjadikan aku sosok yang bermental lemah dan
nyaris lebih banyak menderita.
Pernah
aku dekat dengan seseorang laki-laki yang menurutku sangat baik dan masih satu
kampung, waktu itu usiaku baru 20 tahun, namun ayah menolaknya mentah-mentah
dengan alas an ayah tidak mau punya menantu yg satu kampung. Penolakan seperti
itu sering ayah lakukan termasuk pada dua kakak laki-lakiku sekalipun akhirnnya
mereka menikah.
Sementara
penolakan ayah yang keduakalinya membuatku terpukul, waktu itu menginjak usia 26
tahun. Padahal laki-laki itu bukan hanya siap menikahiku apa adanya tapi juga
telah memiliki pekerjaan dengan posisi yang cukup bagus. Dia berasal dari padang
dan sudah menetap di Bandung. Sejak kejadian itu aku semakin takut berdekatan
dengan laki-laki.
Tragedi
sesungguhnya yang aku alami, ketika adik perempuanku yang kedua “kecelakaan”,
hamil di luar nikah. Waktu itu dia berusia 24 tahun, usia yang sebenarnya layak
untuk menikah. Dia pacaran semenjak usia 21 tahun dengan temennya satu pabrik
yang 2 tahun lebih tau. Waktu itu ayah marah besar dan nyaris bentrok dengan
pihak keluarga laki-laki.
Untuk
menutupi aib ia dinikahkan segera. Namun ayah menolak sebelum dua kakaknya
menikah. Waktu itu usia saya menginjak 29 tahun dan didesak mencari pasanagn,
namun saya menolak karena mencari pasangan yang cocok tidak semudah membalik
telapak tangan, apalagi bagi wanita yang usianya hampir menginjak kepala tiga.
Bagi
saya, kejadian itu sebagai kejadian bagi ayah yang selalu mementingkan diri
sendiri dan tidak pernah peduli
dengan dengan perasaan orang lain. Saya sepenuhnya menyalahkan ayah dan ibu yang
otoriter. Andai saja ketika saya berusia 20 atau 26 tahun lalu saya diizinkan
menikah, kejadiannya akan lain, namun nasi sudah menjadi bubur.
Sementara
adikku yang pertama, saat itu berusia 26 tahun telah lama berhubungan dengan
seorang laki-laki kakak kelasnya waktu smudan dia siap menikah. Atas desakan ibu,
akhirnya ayah setuju dia dinikahkan lebih dulu.awalnya adikku menolak karena
tidak tega mendahului aku sebagai kakaknya. Namun atas persetujuanku akhirnya
dia mau menikah, aku berfikir janganlah semuanya jadi korban, biarlah saya yang
menjadi korban adat otoriterisme orang tua.
Sebulan
kemudian adikku yang ke dua dinikahkan untuk menutupi aib. Saat dinikahkan
kandungannya berusia 4 bualn. Namun sepandai-pandainya menyimpan bangkai
akhirnya tercium juga, masyarakt mengetahui setelah lima bulan dari pernikahan
dia melahirkan bayi laki-laki yang sehat. Namun saying adikku meninggal setelah
melahirkan.