Ahad pagi itu begitu cerah. Tapi Yosi duduk termenung. Hhatinya rusuh. Rasanya dia mau menjerit memikirkan Aisyah. Apa Aisyah sudah berubah? Apa gadis itu telah terseret perbuatan ABG yang berkeliaran di mall-mall?

Astaghfirullah…..Yosi menggeleng berkali-kali. Tidak! Meskipun tante Alin pernah mengaku bertemu beberapa kali memergoki Aisyah di tempat itu, mustahil Aisyah mau berbuat sehina itu.

“Yur-sayr, den! Daun singkong, bayam, kangkung, sawi, sayuuuuuur………..!”

Yosi serentak. Seraut wajah lelah dan tua muncul dari balik pintu gerbang rumahnya. Di punggungnya yang renta tergendong bakul berisi sayuran. Matanya berbinar dan bibirnya mengulas senyum. Si Mbok, begitu penghuni komplek mewah tempat tinggal Yosi memanggil wanita setengah baya itu.

“Ah, si Mbok, bikin kaget saja.”

“hehehe…Den Ayu, pagi-pagi kok ngelamun?”

“Hus…!Bukan ngelamun, Mbok. Mikir.”

“Mikir apa to, Den Ayu? Rumah cakep, mobil mentereng, kok ya mikir, to?”

Yosi tersenyum kecut.”mikirin si Mbok yang lama nggak kelihatan. Ke mana saja Mbok?”

“wah, saya habiskena musibah, Den. Suami saya sakit keras.”

“Innalillahi. Sakit apa, Mbok?’

“kena tipes, den.? Si Mbok menurunkan bakulnya. Dengan kain gendongnya wanita itu mengelap keringat di wajahnya.

“Sudah di bawa ke dokter, Mbok?”

“Sudah, Den. Alhandullillah sekarang sudah baikan, tapi belum boleh nyangkul dlagi. Jadi saya yang repot, Den. Syukur ada anak gadis saya yang mengurus bapaknya jika saya keliling.”

“Habis mau bagaimana lagi, Den. Diakan anak pertama, lagian adiknya masih kecil-kecil.”

“Masih sekolah, Mbok?”

“Sekolah sih jalan terus, Den. Alhamdulillah dia sekarang sudah kelas tiga SMU. Sebaya Den Ayulah.”

“Sebay saya? Namanya siapa, Mbok?”

“Aisyah.”

“Aisyah.”

 

Ruang tamu di rumah itu hanya menyediakan tiga buah kursi yang reot. Sebuah jendela terbuka memperlihatkan bentangan ladang sayur yang menyejukkan mata.

“Ladang ini tanah garapan sebuah perusahaan swasta. Kami mengelolanya dengan sistem bagi hasil,” Aisyah berbicara lambat-lambat. Di depannya Yosi duduk terpekur.

“Bisa kamu baynagkan kerja kami setiap hari, Yos. Pagi aku sekolah, siang aku ke ladang, dan malam aku mengajar. Apalagi sejak bapakku sakit.”

Yosi tersedak ludahnya sendiri karena menahan perasaan berdosa.

“Tapi tetap saja tugas terberat dipikul ibuku. Setiap hari beliau harus kepasar dan keliling kampung kalau sayuran nggak habis. Aku ingin meringankan bebannya. Aku coba-coba menghubungi beberapa pasar swalayan. Maksudnya sih kalau mereka mau menerima pasokan sayurku. Ibuku nggak perlu lagi capek-capek ke pasar. Tapi aku nggak pintar melobi, jadi di tolak terus.”

“Kenapa kamu nggak berterus terang?”Yosi bertanya dengan suara parau dan mata berkaca-kaca.

Aisyah tersenyum tulus.”Aku cuma berusaha, Yos. Yah, untuk menjaga perasaan kamu dan teman-teman.”

Yosi memeluk tubuh Aisyah. Pemandangan ladang dari jendela lama-lama menjadi kabur. Yosi menangis.”Maafkan aku, Aisyah…..”